PAHALA TERAKHIR SEORANG ISTERI
Kesalahan yang disangka ringan, tetapi rupa-rupanya mendatangkan rasa bersalah yang tidak pernah berkesudahan hingga hari ini.
Untuk pengetahuan semua, dikalangan sahabat-sahabat dan saudara, saya dianggap sebagai seorang isteri yang baik. Walau bagaimana penat dan sibuk sekalipun, urusan rumahtangga seperti melayan suami dan mengurus anak-anak tidak pernah saya abaikan. Kami dianggap pasangan romantis.
Suami saya seorang lelaki yang amat memahami jiwa saya, lemah lembut terhadap keluarga, ringan tulang untuk bersama-sama mengurus rumah apabila pulang dari kerja dan lain-lain sifat yang baik ada pada dirinya.
Waktu sholat dan waktu makan merupakan waktu terbaik untuk mengeratkan ikatan kekeluargaan dengan sholat berjamaah dan makan bersama. Pada waktu inilah biasanya beliau akan memberi tazkirah dan peringatan kepada kami agar menjadi hamba yang bertakwa.
Dari sudut layanan seorang isteri terhadap suami, saya amat memahami akan kewajiban yang harus ditunaikan. Itulah peranan asas seseorang isteri terhadap suaminya. Allah menciptakan Hawa semata-mata untuk melayan Adam dan menghiburkannya. Meskipun syurga dipenuhi kekayaan dan kemewahan, namun tidak mampu mengisi jiwa Adam yang kosong melainkan dengan diciptakan Hawa.
Oleh itu saya menganggap tugas mengurus rumahtangga, mengurus anak-anak dan bekerja di kantor adalah tugas nomor dua setelah tugas pertama dan utama, yaitu melayani suami.
Sebagai seorang yang juga sibuk di kantor, adakalanya rasa penat dan letih menghambat sehingga saya pulang ke rumah. Tetapi saya bersyukur karena suami amat memahaminya.
Berkat tolong-menolong dan saling pengertian, hal tersebut tidak pernah menjadi masalah di dalam rumahtangga. Bahkan sebaliknya menumbuhkan rasa kasih dan sayang antara satu sama lain karena masing-masing dapat menerimanya dan mengorbankan kepentingan masing-masing.
Sehingga tiba pada satu hari yang mana pada hari itu datangnya ketentuan Allah yang tidak dapat diubah oleh sesiapapun. Hari itu merupakan hari bekerja. Agenda saya di kantor amat sibuk. Hingga pukul lima petang saya bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Penat dan letih tidak dapat digambarkan.
Apabila sampai dirumah, saya lihat suami telah pulang dari kantor. Dia telah membersihkan dirinya dan sedang melayani anak-anak, bermain dan bergurau senda.
Dia kelihatan sungguh gembira pada petang itu. Saya begitu terhibur melihat telatah mereka, karena suasana seperti itu jarang berlaku pada hari bekerja. Maklumlah masing-masing penat.
Suami sadar saya amat penat pada hari itu. Oleh itu dia meminta agar saya tidak memasak, sebaliknya mencadangkan agar kami makan di sebuah restoran makanan laut di pinggir kota.
Dengan senang saya dan anak-anak menyetujuinya. Kami pulang ke rumah agak lewat, kira-kira jam 11 malam. Apa tidaknya, kami berbual-bual panjang ketika makan, bergurau-senda dan usik-mengusik.
Seperti tiada hari lagi untuk esok. Selain anak-anak, suami sayalah orang yang kelihatan paling gembira dan paling banyak modal untuk bercakap pada malam itu. Hampir jam 12 barulah masing-masing merebahkan badan di katil.
Anak-anak yang kekenyangan segera mengantuk dan lelap. Saya pun hendak melelapkan mata, tetapi belaian lembut suami mengingatkan saya agar tidak tidur lagi. saya coba menggagahkan diri melayaninya, tetapi hati saya hanya separuh jaga, separuh lagi tidur.
Akhirnya saya berkata kepadanya sebaik dan selembut mungkin, “Abang, Zee terlalu penat,” lalu saya menciumnya dan memberi salam sebagai ucapan terakhir sebelum tidur.
Sebaliknya suami saya terus merangkul terus merangkul tubuh saya. Dia berbisik kepada saya bahwa itu adalah permintaan terakhirnya. Namun kata-katanya itu tidak meresap ke dalam hati saya karena saya telah berada di alam mimpi.
Suami saya perlahan-lahan melepaskan rangkulannya. Keesokan harinya di kantor, perasaan saya agak tak menentu. Seperti ada perkara yang tidak selesai.
Saya menelepon suami, tetapi tidak berjawab. Sehinggalah saya dapat panggilan yang tidak disangka sama sekali. Panggilan dari pihak polisi yang menyatakan suami saya terlibat dalam kemalangan dan dikehendaki datang segera ke rumah sakit.
Saya bergegas ke rumah sakit, tetapi segala-galanya sudah terlambat. Allah lebih menyayangi suami saya dan saya tidak sempat bertemunya. Meskipun redha dengan kepergian suami, tetapi perasaan terkilan dan bersalah tidak dapat dikikis dari hati saya karena tidak melayaninya pada malam terakhir kehidupannya di dunia ini.
Hakikatnya itulah pahala terakhir untuk saya sebagai seorang isteri. Dan yang lebih saya takuti sekiranya dia tidak redha terhadap saya pada malam itu, maka saya tidak berpeluang lagi untuk meminta maaf daripadanya.
Sabda Rasulullah SAW, “Demi Allah yang jiwaku di tanganNya, tiada seorang suami yang mengajak isterinya tidur, tiba-tiba ditolah isterinya, maka malaikat yang di langit akan murka kepada isterinya itu, hingga dimaafkan oleh suaminya.”
Sehingga kini, setiap kali saya terkenang kepadanya, air mata saya akan mengalir ke pipi. Saya akan bermunajat dan memohon keampunan daripada Allah. Hanya satu cara saya fikirkan untuk menebus kesalahan itu, yaitu dengan mendidik anak-anak agar menjadi mukmin sejati. Agar pahala amalan merekan akan mengalir kepada ayah mereka. Hanya itulah khidmat yang dapat saya berikan sebagai isterinya. Itulah harapan saya… semoga Allah perkenankannya.
Sumber : Mutiara Amaly Penyejuk Jiwa Penyubur Iman Volume 19