Minggu, 16 Desember 2007

Pengantar Renungan Menyambut Hari Ibu

SAYA KIRA WAKTU ITU IBU TIDAK PEDULI

DENGAN KEINGINAN SAYA

Ibu kembali ke rahmatullah ketika berusia 27 tahun. Terlalu muda sebenarnya untuk seorang Ibu berpisah dengan 5 orang anaknya yang masih kecil dan amat memerlukan kasih sayangnya.

Dia menghembuskan nafasnya setelah melahirkan adik bungsu saya yang juga turut menyusulnya tiga tahun kemudian. Saya baru berusia 10 tahun ketika itu.

Pada usia 7 tahun, saya dimasukkan ke sekolah sama seperti kanak-kanak lain. Setelah kira-kira 3 bulan, sekolah menilai saya tidak mampu mengikuti pelajaran. Akhirnya saya dimasukkan ke sebuah sekolah khusus untuk anak-anak cacat penglihatan. Saya terpaksa tinggal di asrama sekolah tersebut. Masa liburan sajalah baru saya berpeluang balik dan bermesra dengan keluarga.

Dalam waktu yang serba terbatas itu, ibu telah berusaha mengajarkan saya akan kehidupan ini. Meskipun saya cacat, dia tidak pernah menunjukkan sikap diskriminasi terhadap saya. Sebenarnya, ketika itu, hanya seorang saja adik saya yang dikurniakan penglihatan yang sempurna.

Yang lainnya, (kami bertiga), mempunyai masalah penglihatan. Tak dapat saya bayangkan betapa deritanya dia membesarkan kami. Disamping terpaksa bersusah payah di rumah, dia juga terpaksa menghadapi pandangan dan kata-kata orang kampung. Tapi dia tetap tabah dan senantiasa riang mesra bersama kami.

Pada waktu itu, kalau dapat makan lauk ayam, memanglah sungguh sedap. Kami agak bernasib baik karena ayam tak perlu beli. Kalau mau makan ayam, Cuma perlu tangkap saja. Ayah akan sembelih sebelum pergi kerja dan ibu akan memprosesnya dari mencabut bulunya hinggalah ayam itu siap dimasak.

Yang saya suka pada waktu itu ialah hati ayam. Suatu hari, saya bertanya kepada ibu bagaimana rupanya bentuk hati ayam sebelum dimasak. Ibu hanya diam saja.

Beberapa hari berikutnya, ayah sembelih ayam lagi. Sementara ibu memproses ayam tersebut, saya dan adik-adik bermain dibelakang rumah. Tiba-tiba ibu memanggil saya. Saya bertanya sambil bergegas menuju ke tangga dapur.

“Kemaren, kamu bilang ingin tengok hati ayam sebelum dimasak! Inilah dia!”

Ibu menghulurkan hati ayam yang sudah siap dibersihkan ke tangan saya. Terharu sungguh saya. Saya kira waktu itu Ibu tak peduli dengan keinginan saya itu. Selepas meraba hari ayam itu sepuas-puasnya, saya menghulurkannya kembali kepada ibu.

Begitulah ibu. Dia senantiasa berusaha memenuhi apa saja kehendak anak-anaknya terutama makanan. Sebut saja ingin makan apa. Dia akan berusaha menyediakannya.

Namun, apalah daya kita untuk menahan takdir dan ketentuan Allah. Bila dah sampai masanya, kita semua tetap akan pergi menemui-Nya.

Kepada yang masih mempunyai Ibu, jagalah Ibu baik-baik. Buat dia senantiasa gembira bersama kita semasa hayatnya masih ada.

Sumber : Mutiara AmalyPenyejuk Jiwa Penyubur Iman Volume 19

Tidak ada komentar: