Minggu, 16 Desember 2007

Bahan Renungan Menyambut Hari Ibu

BAGAI SANG SURYA

Selalu Memberi Tak Harap Kembali

“Perawat, boleh saya tengok bayi saya?” ibu muda yang baru bersalin itu bersuara antara dengan dan tidak kepada seorang jururawat.

Sambil tersenyum jururawat itu membawakan bayi yang masih merah itu. Si Ibu menyambut dengan senyum tertahan. Dibuka selimut yang menutup wajah manis itu, diciumnya berkali-kali begitu bayi tersebut berada di pangkuan.

Jururawat kemudian mengalihkan pandangannya keluar tingkap. Tidak sanggup dia bertatapan mata dengan si Ibu yang terperanjat melihat bayinya dilahirkan tanpa kedua daun telinga.

Namun terkejutnya cuma seketika. Dekapan dan ciuman silih berganti sehingga bayi yang sedang lena itu merengek. Dokter meyakinkan bahwa pendengaran bayi itu normal, sesuatu yang cukup menggembirakan si Ibu.

Masa Terus Berlalu…

Pulang dari sekolah suatu tengah hari, anak yang tiada daun telinga itu yang kini telah memasuki alam persekolahan menangis memberitahu bagaimana dia diajak rekan-rekan. “Mereka bilang saya cacat,” katanya kepada si Ibu. Si Ibu menahan sesak. Dibujuknya si anak dengan pelbagai kata semangat. Si anak menerimanya dan dia menjadi pelajar cemerlang dengan menyandang pelbagai kepengurusan di sekolah. Bagaimanapun tanpa daun telinga, si anak tetap merasa rendah diri. Walaupun si Ibu terus memujuk. Ayah anak itu menemui dokter. “Saya yakin dapat melakukannya jika ada penderma,” kata pakar bedah. Bermulalah suatu pencarian bagi mencari penderma yang sanggup berkorban.

Setahun Berlalu…

“Anakku, kita akan menemui dokter ujung minggu ini. Ibu dan Ayah telah mendapatkan seorang penderma, tapi dia mau dirinya dirahasiakan,” kata si Ayah. Pembedahan berjalan lancar dan akhirnya si anak meuncul sebagai manusia baru, pandai serta bijak. Pelajarannya tambah cemerlang dan rasa rendah diri yang kerap dialaminya hilang.

Rekan-rekan memuji kecantikan parasnya. Si anak cukup gembira, bagaimanapun dia tidak mengabaikan pelajaran. Pada usianya lewat 20-an, si anak menduduki jabatan tinggi dalam bidang diplomatik.

“Sebelum saya berangkat keluar negara, saya ingin tahu siapakah penderma telinga ini, saya ingin membalas jasanya,” kata si anak berkali-kali.

“Tak mungkin,” balas si Ayah. “Perjanjian antara Ayah dengan penderma itu masih berjalan. Tunggulah, masanya akan tiba.”

“Kapan?” tanya si anak.

“Akan tiba masanya anakku,” balas si Ayah sambil Ibunya mengangguk-angguk. Keadaan terus berlalu menjadi rahasia bertahun-tahun lamanya.

Hari yang Ditunggu Tiba Akhirnya..

Ketika sia anak berdiri disisi keranda Ibunya, perlahan-lahan si Ayah menyelak rambut Ibunya yang kaku.

“Ibumu tidak pernah memotong pendek rambutnya,” si Ayah berbisik ke telinga anaknya.

Gelap seketika pandangan si anak ketika melihat kedua daun telinga Ibunya tiada.

“Tetapi tiada siapapun pernah mengatakan Ibumu cacat, dia tetap cantik,, pada Ayah dia satu-satunya wanita paling cantik yang pernah Ayah temui.”

***

Selagi Ibu kita didunia ini, curahkanlah ketaatan dan penghormatan sepenuh kasih sayang kepadanya.

Dikutip dari : Mutiara AmalyPenyejuk Jiwa Penyubur Iman Volume 19

Tidak ada komentar: